"cinta adalah kekuatan yang mampu... ~mengubah duri jadi mawar,~mengubah cuka jadi anggur,~mengubah malang jadi untung,~mengubah sedih jadi riang,~mengubah sakit jadi sihat,~mengubah bakhil jadi dermawan,~mengubah padang jadi taman,~mengubah penjara jadi istana,~mengubah amarah jadi ramah,~mengubah musibah jadi muhibbah... itulah cinta..semuanya dianggap indah.."

Wednesday, March 16, 2011

JADILAH SEPERTI AZIZAH,,,,!!!! (PART KE-1)

Rasulullah  bersabda: "Dan isteri shalehah yang menolongmu atas persoalan dunia dan agamamu adalah sebaik-sebaik (harta) yang disimpan manusia."(HR. Baihaqi dalam Syu'abul Iman, Shahihul jami' 4285) .

Mari kita simak, tatkala Abbas menceritakan sebaik-baik harta simpanan yang ia miliki….!!!!

Bidadari Dalam Pingitan

Ia tinggal cukup jauh dari lokasi di mana aku tinggal. Ia dan orang tuanya kelahiran jawah tengah, dan sudah 15 tahun tinggal di Jakarta. Gadis itu sendiri baru tiga tahun tinggal bersama orang tuanya di Jakarta, karena separuh hidupnya dihabiskan di pesantren.

Pak Jasmin -begitu nama calon bapak mertuaku itu- memanggil putrinya, untuk segera keluar menemui kami. Tiba-tiba hatiku berdegup kencang.

“Nak, ini putriku, Azizah…”

Tanpa sadar, aku memandanginya dengan panik, terkesima lalu bingung tak menentu. Ia  gadis muda yang mengenakan jubah berwarna coklat kehitaman, jilbab lebar dengan warna yang serupa, serta –ini yang membuatku terperangah- secarik cadar menutupi wajahnya!

Saat ia menanyakan yang aku bias dan aku tahu dari ilmu-ilmu keislaman, aku kelabakan. Ia tanya berapa juz dari Al-Qur’an yang aku hafal. Kubilang, kubilang 2 juz, itupun hanya satu yang aku hafal benar. Ia tertawa  ringan (senyum). Maklum, hafalannya saat ini –berdasarkan pernyataannya saat itu- 16 juz. Karena katanya, ia tidak focus menghafal Al-Qur’an saat mondok dulu.

“Bisa berbahasa Arab?”

“Enggak,,” jawabku jujur.
Sebagian pertanyaan kujawab dengan sebisaku, sebagian lagi tak bias kujawab sama sekali. Dan berkali-kali ia tertawa renyah dengan suara tertahan.

                                                                                         ******

Satu pekan berlalu. Di pagi yang sejuk, pada hari ahad, HP-ku berdering. Ternyata panggilan dari pak jasmine. Kembali dadaku berdegup kencang, was-was dan prihatin. Segera kuangkat dan yang kudengar, hanya sebuah kalimat singkat yang seolah menjebakku dalam kegugupan, “Putriku sudah memutuskan, untuk menerima pinanganmu..” Hatiku bersorak.

Betapa jiwaku bagai terbang ke angkasa luas, membayangkan aku akan mempersunting gadis muslimah sealim dan seshalihah Azizah. Ia tak hanya shalihah, tapi juga cantik dan cerdas, soal cantik, itu ada dalam ukuranku sendiri. Karena kecantikan itu relative. Inner beauty murni yang menyemburat dari dalam jiwa Azizah, membuatnya tampak jauh lebih cantik dari kecantikan fisik yang dia miliki.

Kenapa akhirnya ia menerima pinanganku, itu yang aku tak habis piker. Dilihat dari hasil wawancara atau lebih tepatnya interogasi kemarin, jelas aku gagal total. Aku layak disebut pecundang. Soal penampilan fisik, aku juga jauh dari ganteng. Kondisiku dihadapannya kemarin,, lebih menyerupai pecundang ketimbang pria yang akan datang mempersunting gadis idamannya.

Karena aku kaya???

Terbukti, bahwa ternyata Azizah belum mengetahui latar belakang  kondisi perekonomianku, kecuali setelah kami merancang hari pernikahan kami.
                                                                                               ******

Bersama Bang Doni (kakak pertamaku), aku dating melamar Azizah. Selama di perjalanan, Bang Doni tak habis-habisnya mengungkapkan keheranannya, karena aku bias melamar gadis seshalihah Azizah.

“Jomplang, betul-betul jomplang…”

“Apa maksudnya, Bang?”

“Kamu, dengan calon istrimu itu, sungguh  jomplang..”

“Entah kamu yang kelewat beruntung atau si Azizah itu yang sedang kurang sadar dengan pilihannya…”

Sesampainya di rumah pak jasmine, kami langsung disambut oleh beliau dan istrinya. Tak lama, Azizah juga keluar menemui kami. Tanpa banyak berbasa-basi kami langsung masuk ke topik persoalan. Doni mewakili keluarga besar kami, menyatakan melamar Azizah untuk dinikahkan denganku.

“Kalau begitu tinggal kita tentukan hari pernikahannya….”tutur pak jasmine.

<span>Hidup Itu Indah</span>

Dua pekan sejak waktu acara pelamaran tersebut, akhirnya aku resmi menjadi suami Azizah. Kami menikah dengan perhelatan sederhana. Azizah yang menghendaki demikian.

Di malam pernikahan kami, aku mengamalkan segala yang pernah kubaca tentang hal-hal yang disunnahkan bagi mempelai pria, terhadap mempelai wanita. Di situ ada acara member segelas susu segar. Ada obrolan-obrolan santai pencair suasana. Ada acara sholat sunnah berjama’ah. Semua sunnah itu sudah pernah kubaca, dan saat itu kupraktikkan pada istriku, Azizah.

Tapi, pada saat aku memegang kepala istriku, ingin membacakan do’a yang disunnahkan, hafalanku mendadak macet. Aku tak ingat lagi lafal do’a tersebut. Kucoba mengingat-ngingatnya hingga beberapa menit, tak juga muncul. Aku panic. Kini aku hanya memegangi kepala Azizah, sambil bibirku menggumamkan potongan-potongan kalimat yang tak jelas.

“Lupa bacaannya?”

“Aku mengangguk malu”

Azizah tersenyum geli, tapi ia segera mengajariku kembali bacaan tersebut. Do’a yang memang baru dua hari yang lau aku kuhafal itu, tapi seolah-olah baru kali ini pula aku dengar. Berkali-kali Azizah mengulangi bacaan itu agar aku bias menghafalnya di luar kepala, namun kegugupanku membuatku gagal menghafalnya.

Azizah bangkit dengan masih tersenyum, mengambil sebuah pena dari laci meja kecil di sudut kamarnya, lau menyobek selembar kertas dari sebuah buku tulis kecil yang terletak di atas meja tersebut, kemudian menuliskan do’a itu untukku. Adegan itu terpaksa kuul;angi lagi. Aku memegang kepala istriku tersebut, sambil mengucapkan do’a yang tertera jelas, dengan tulisan tangan yang indah dan mudah kubaca.
                                                                                        ******

Adalah keindahan tersendiri memaknai hari-hari pernikahan dengan saling mengenal, saling memupuk cinta kasih, saling member dan menerima yang terbaik, saling bertukar pengalaman, dan saling belajar satu dari yang lain.

Untuk hal terakhir yang kusebutkan, seperti pembaca sudah ketahui, aku dipihak yang lebih banyak menerima ketimbang member. Soal ilmu bisnis dan perdagangan, aku boleh berlagak memberi kuliah kepada istriku. Tapi soal ilmu agama, aku kini muridnya yang paling patuh.

Azizah wanita muslimah yang cemerlang. Ia memiliki banyak gagasan untuk membuat suasana belajar kami larut dalam cengkrama yang indah. Ilmu-ilmu yang ia sampaikan mengalir bersama ide-ide kami mengisi kebersamaankami sebagai pasutri baru. Ia tak berpah terkesan mengajariku apa-apa. Karena setiap ucapan, tindakan dan prilakunya, selalu mudh kutafsirkan sendiri sebagai pelajaran.

Tentu indah membayangkan, bercengkrama sambil belajar banyak hal bukan?

Istriku senang mendengarkan pengalaman-pengalaman hidupku. Saat mendengar, matanya kerap ter beliak. Kadang ada tercengang, terperangah dan terkaget-kaget. Kadang ia tertawa, merasa gelid an lucu. Tapi terkadang juga mendesis dengan nada khawatir.

“Banyak yang kupelajari dalam buku, dan kudapatkan pada dirimu, Mas…”komentarnya suatu saat.

“Ah, bikin aku ge-er aja nih…”

“Betul.  Banyak pengalaman seperti yang Mas alami, yang pernah aku baca dalam buku…”tegas istriku meyakinkan.

“Lebih banyak pahitnya…”

“Justru dari kepahitan, kita bias mengecap nikmatnya manis…”

”Masya Allah…” kupandangi Azizah. Senyumnya mengembang.

“Nah, mari kita pelajari sama-sama, pengalaman demi pengalaman yang Mas alami. Untuk membangun rumah tangga yang siap segalanya menghadapi beragam problematikanya, kita perlu belajar dari kebaikan dan keburukan masa lalu…”
Suatu hari Azizah mengatakan: “Mas gak boleh terlalu sungkan terhadapku. Aku ini istrimu. Bukankah istri itu adalah belahan jiwa suami…?”

Aku memandangi istriku itu. Bibirku menyunggingkan senyum. “Aku hanya khawatir berbuat dan berkata salah, Azizah. Aku sudah capek hidup dengan segala kekeliruan selama ini…”

“Aku menyukai sikapmu itu, Mas. Tapi, segala sesuatu gak boleh berlebihan kan? Karena takut godaan wanita, maka tak mau kawin. Takut tergoda nafsu, lalu setiap hari berpuasa. Takut mimpi buruk, lalu tak pernah tidur. Semua itu tak benar kan?” sanggahnya.

Aku tersenyum lagi.
                                                                                                 ******

<span>Yang Selalu Menyenangkan Bila Dipandang</span>

Yang kutahu, itu adalah salah satu tanda wanita shaliahah, Azizah memilikinya. Ia tipikal istri yang tahu betul bagaimana membuat suaminya senang, sekerap apapun aku memandangnya, senyum seperti terpatri di bibirnya. Serumit apapun suasana yang sedang kami rasakan, senyum itu tak pernah lepas. Dari senyumnya itu aku seperti diajari untuk mengerti makna sebuah ketulusan.

Tulus benar ia menyambutku setiap aku pulang kerja seharian. Senyumnya akan mengaliri jiwaku dengan kesejukan. Aku mengerti betul kekuatan sebuah senyuman, saat Azizah mengobral senyumya kepadaku di saat-saat aku membutuhkannya. The power of smile, begitu aku menyebutnya.

Ia memilih baju-baju yang terbaik, justru saat ia sedang berduaan bersamaku. Baju-baju dengan kualitas nomor dua, ia gunakan saat bersamaku menerima tamu. Dan yang kualitas  nomor tiga, ia pakai bila keluar berbelanja, atau aktivitas lain yang ia nanggap berguna. Berdandan di hadapanku adalah adalah kegemarannya.

“Gak usah sering-sering membelikan baju, Mas. Lebih baik, sebagian penghasilan Mas sedekahkan…”semakin menambah indah pemberianku.

Saat aku mengajaknya berbelanja, yang sering ia beli adalah buku dan tabloid masak. Ia bukan koki yang handal memang. Pesantren tentu tak mendidiknya untuk menjadi juru masak. Namun nyaris setiap hari, ia belajar menu baru, dan mencoba memasaknya. Kegagalannya dalam mempraktikkan sebuah resep, bagiku adalah kelucuan tersendiri.

Kami sering tertawa bersama, karena rasa makanan yang dia olah membentuk cita rasa yang aneh. Ia akan menumpahkan kekesalannya dengan mengganyang habis makanan itu di hadapanku. Bila demikian, biasanya akupun berlomba dengannya menghabiskan makanan tersebut. Senang sekali.

Memandangnya saat bekerja sama adalah kesenangan tersendiri bagiku. Hal yang paling aku senangi dari Azizah adalah responnya pada setiap ucapanku. Saat aku berbicara dengannya, reaksi pertamanya adalah mendengarkan ucapanku baik-baik. Ia akan tersenyum bila diperlukan. Dan ia akan memasang mimik sedih, bila itu yang kuharapkan.
                                                                                         ******

Pagi itu begitu cerah. Berdua kami menyisiri jalan-jalan kecil yang kami sebut MHT, alias Moehamad Husni Tamrin, di dekat rumahku, hingga mengarah ke pinggir jalan besar. Beberapa pedagang makanan, seperti bubur ayam, penjual lauk pauk matang yang menyediakan semur jengkol, telor balado, hingga penjual nasi sarapan yang menjajakkan ketan khas betawi, lontong dan nasi uduk, berjejer di tepi-tepi jalan. Kebetulan kami ingin mencari kudapan, buat sarapan di rumah.

Serombongan anak kecil yang hendak berangkat sekolah, menyusul kami keluar  hingga ke jalan raya, karena bus sekolah mereka sudah menanti di depan.

“Ninja, ninja…” mereka berlari sambil meneriakkan kata itu, menyindir istriku yang bercadar.

Emosiku tiba-tiba saja naik, namun Azizah menyentuh telapak tangan kananku dengan telapak tangan kirinya yang terbalut sarung tangan. Isyarat agar aku menahan emosiku.

“Biar aja, Mas. Namanya anak-anak. Mereka belum ngerti…”

Aku mengurungkan iatku mengejar mereka. Aku sebenarnya juga bukan tipikal orang yang begitu mudah mengumbar emosi. Tapi entahlah, bila istriku yang dihina, sulit bagiku menahan emosiku.

“Manusia sering menjadi musuh dari apa yang dia tidak ketahui. Apalagi anak-anak. Mereka malah patut dikasihani. Mereka hanya korban dari pendidikan yang salah, atau lingkungan yang kurang mendidik…”jabarnya bijak.

Aku sampai berhenti mendadak, saat tiba-tiba aku sudah sampai disebuah warung yag memang sudah lama menjadi langgananku di masa lajang. Bersama Azizah aku memasuki warung tersebut.

“Ooo, tumben, sudah berapa hari nggak kemari…”sapa ibu pemilik warung itu.

Ibu pemilik warung itu memang sudah megenal istriku semenjak kami menikah. Dan setiap pecan, minimal 3 atau 4 hari aku bersama Azizah mampir di warung itu di pagi hari, untuk membeli sarapan.

Semula, ibu itu juga kaget melihat tampilan istriku yang serba tertutup. Dalam pandanganyya, wanita dengan tampilan seperti itu menyimpan sejuta misteri yang mengundang kekhawatiran. Tapi, begitu ia mengenal Azizah, ia malah balik menyukainya bukan main. Ia menjadi begitu akrab, bahkan tak jarang ia main ke rumah kami.

“Gak papa kan, saya berkunjung ke rumah?” tanya pemilik warung yang biasa kami sapa bu Darso itu, suatu pagi.

“Lho, memangnya kenapa? Boleh aja, Bu. Pintu rumah kami terbuka lebar,”jawab Azizah. Senyumnya mengembang menahan geli.

“Bukan begitu. Ada sebagian wanita yang berjilbab lebar sepertimu itu, nggak mau kalau rumahnya dikunjungi tamu. Malah kami dengar, kalau ada tamu dating, lantai yang diinjak tamu, atau apapun yang disentuh tamu, akan dicuci atau dibilas sebersih-bersihnya…”kisahnya serius.

“Wah, wah, wah. Ya kalau ada yang bersikap seperti begitu, jelas tidak benar. Setiap muslim dan muslimah itu saling bersudara. Masak menyikapi saudara seperti menyikapi benda najis saja…? Jelas Azizah.

“He, he, he. Iya juga ya. Tapi kapan aku boleh berkunjung ke rumah? Sejak kalian menikah, aku nggak pernah mampir ke rumah Mas Abbas lagi…”

“Kapan saja bu, asal jangan tengah malem saja…” guarau Azizah

Bu Darso tertawa. “Wualaaah, memangnya saya ini maling Mbak Zizah…heee”

Tak hanya dengan bu Darso, dengan setiap tetangga istriku selalu bersikap ramah. Image yang berkembang bahwawanita-wanita yang betjilbab rapat itu tidak bisa berinteraksi dengan para tetangganya, eksklusif dan cenedrung mengannggap orang lain, kini putus dalam pandangan para tetanggaku. Sikap santun dan raamh Azizah setiap hari, mengenyahkan pikiran mereka image buruk seperit itu.




 ( penulis ibnu musa as-sasakiy)                                                          (Bersambung, Insya Allah)

No comments:

Post a Comment