"cinta adalah kekuatan yang mampu... ~mengubah duri jadi mawar,~mengubah cuka jadi anggur,~mengubah malang jadi untung,~mengubah sedih jadi riang,~mengubah sakit jadi sihat,~mengubah bakhil jadi dermawan,~mengubah padang jadi taman,~mengubah penjara jadi istana,~mengubah amarah jadi ramah,~mengubah musibah jadi muhibbah... itulah cinta..semuanya dianggap indah.."

Wednesday, March 16, 2011

JADILAH SEPERTI AZIZAH...!!! (Part ke-2)

Tak Kenal Maka Tak Sayang

Dari seluruh keluargaku, aku hanya melihat Doni yang begitu bangga melihatku menikahi Azizah. Ia bahkan bercita-cita sepertiku. Ia istrinya berpakaian sepertti istriku. Dan terbukti, ia dan keluarganya kini rajin mengikuti berbagai majlis ilmu yang juga aku hadiri bersama Azizah.

Selain Doni, kebanyakan mereka bersikap apatis terhadapku dan terhadap Azizah, istriku. Harun dan Sari (mereka berdua kakak kandungku) juga demikian paman-pamanku lebih lagi.

“Pakaian istrimu itu berlebihan, tak cocok diterapkan di negeri kita…” ungkap Sari suatu saat. Ia juga sebenarnya sering mengenakan jilbab. Tapi hanya sejenis kerudung yang tak sempurna menutupi kepala dan rambut kepalanya, dengan setelan baju dan celana yang ketat, yang memamerkan lekak-lekuk tubuhnya. Kami menyebutnya, jilbab gaul.

“Soal cocok gak cocok, kan gak bisa diukur dengan kebiasaan orang banyak bukan?” protesku.

“Di mana kita hidup, ya kita harus bisa mengikuti kebiasaan orang di situ..” jawab sari.

“Gak, itu gak benar…” aku menyanggah ucapan kakakku itu.

“Dalam Al-Qur’an disebutkan, : “Kalau engkau memperturuti (keyakinan atau amalan) kebanyakan manusia di bumi ini, pasti mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.”(Qs. Al-An’aam: 116)

Perdebatan semacam itu, sering terjadi di antara kami. Meski berulang-ulang dijelaskan, tapi tetap saja mereka berpandangan miring terhadap Azizah. Apalagi, berbagai berita tak sedap seputar penangkapan teroris yang disorot media yang menampilkan istri-istri mereka bercadar, semakin memperburuk citra Azizah di mata mereka.

Para pelaku teroris itu jelas orang-orang yang keliru memahami islam dalam banyak hal. Tapi, saat mereka memerintahkan istri-istri mereka menutup aurat, itu bukanlah kekeliruan.

Namun hal itu tidak dimengerti oleh kebanyakan keluargaku. Maka saat kami berkumpul dalam acara keluarga yang sering kami adakan untuk mempererat hubungan persaudaraan di antara kami, Azizah sering kali dipinggirkan. Sedikit sekali di antara mereka yang mau bersapa ramah dengan Azizah, mengajaknya ngobrol atau menjalin keakraban dengannya. Padahal Azizah adalah istriku, adalah bagian dari keluarga besar kami juga.

Selama tiga bulan pernikahan kami, sudah dua kali kami melakukan pertemuan keluarga. Di dua pertemuan itu, hatiku teriris bila melihat sikap kebanyakan mereka yang terkesan menyudutkan Azizah.

Tak hanya sikap yang kurang bersahabat, ucapan dan ungkapan pedas yang memojokkan Azizah juga kerap bermunculan. Azizah selalu menenangkanku, “Gak usah terlalu dipikirin, Mas..” Aku juga gak merasa di anak tirikan, koq. Bagiku, mereka semua baik-baik terhadapku. Kalau sekarang tampak kurang akrab, mungkin belum saatnya saja,,,”

Kesabarab dan kesantunan Azizah sering membuatku tersipu malu atas ketidaksabaran diriku sendiri.
                                                                                   ******

Kadang ketidakadilan sikap itu kurasakan. Tapi selalu saja Azizah membuat alasan pembenaran atas ketidakadilan yang justru tertumpahkan atas dirinya. Emosiku selalu tersulut, atas berbagai sikap yang seharusnya lebih membuat marah Azizah.
Tapi, lagi-lagi sikap Azizah menunjukkan kesiapannya atas segala wujud pemojokan atas dirinya itu. “Yang perlu kita khawatirkan, kalau kita berlaku salah dan keliru, sehingga membuat orang lain susah…”

“Kalau ada kecaman terhadap kita, sebaiknya kita berkaca diri saja. Bisa jadi, memang masih ada kekurangan dan kekeliruan yang kita lakukan. Bisa jadi kita berpakaian bagus, ibadah kita baik, amalan kita banyak, tapi ada di antara prilaku kita yang tak sejalan dengan kebaikan-kebaikan itu…”

“Tapi mereka mengecam kita, karna kamu tampil seperti itu, Azizah. Padahal aku tahu, kamu berpakaian begitu karena tuntunan dirimu sebagai muslimah…” sungutku dengan hati jengkel.

“Yah, itu hanya kesalahpahaman saja, Mas. Ketidakpahaman atas sesuatu sering menjadi musuh bagi manusia yang tidak memahaminya itu sendiri. Banyak orang tak mau minum jamu, karena itu dianggap menyusahkan…” kalimat-kalimat yang menyejukkan itulah yang selalu keluar dari mulut Azizah.
                                                                                             ******

Hari itu, Harun bersama istrinya berkunjung ke rumah Bang Doni. Pagi-pagi benar, mereka telah sampai di situ. Tampaknya, bukan rumah Bang Doni yang menjadi tujuan mereka berdua. Karena mereka memarkir mobil CRV mereka di depan rumah dan mereka biarkan dalam kondisi menyala. Ia hanya datang sebentar, untuk menginformasikan sesuatu.
Hanya kira-kira lima menit saja, Monah (istri Harun) sudah berkemas-kemas untuk pergi. Harun juga sudah berpamitan dengan bang Doni.

“Oo ya, Bang. Aku pikir, sebaiknya Abang gak usah ikut lah pengajian-pengajian si Abbas dan Azizah itu..” sambil bangkit, tiba-tiba Harun melontarkan ucapannya itu.

“Lho, kenapa?” tanya bang Doni dengan megernyitkan alisnya.

“Keluarga kita gak terbiasa dengan pemahaman islam ekstrim seperti itu. Yang biasa-biasa aja lah, yang kita dapat dulu dari guru-guru mengaji kita…” saran Harun.

“Ya. Memang begitu. Di pengajian itu, kami dapat ilmu-ilmu yang nyaris sama yang kita dapat waktu mengaji dari para ustadz di langgar dulu..”

“Ah, ya enggak lah bang. Kita gak diajarkan bersikap ekstrim seperti itu…”

“Ekstrim bagaimana, maksudmu Run?” tanya bang Doni.

“Ya, seperti Azizah itu. Soal pakaiannya, cara bergaulnya, semuanya serba ekstrim…”

“Aku belum mengerti…”

“Ah, Abang, bagaimana sih. Pertama, soal ia memakai cadar itu. Mana ada ustadz kita yang mengajarkan demikian? Kedua, soal sudut pandangnya yang sempit dalam masalah pergaulan. Masa, bersalaman saja dengan keluarga sendiri gak mau. Apa kita diajarkan begitu waktu mengaji dulu? Enggak kan?” harun berusaha meyakinkan Bang Doni.

“Wah, mungkin ini yang kamu salah paham, Run. Itu sebenarnya bukan soal perbedaan ilmu, tapi perbedaan amalan…”

“Maksudmu?” tanya harun heran.

“ilmu yang menjadi dasarnya sesungguhnya sama. Aku masih ingat betul koq, waktu guru-guru kita dahulu menceritakan tentang Ummahatul Mukminin, para ibunda kaum muslimin yang mulia itu. Tentang A’isyah, Hafshah, atau yang lainnya. Bukankah mereka sering menyebut-nyebut soal cadar? Yakni bahwa para istri Nabi  itu juga mengenakan cadar?”

“Ah, itu kan di Arab dulu…” sergah Harun.

“Apa syari’at berpakaian bagi wanita itu berbeda, dulu dan sekarang? Menurutmu, jilbab itu apa hukumnya bagi wanita muslimah?” Tanya Bang Doni.

“Kalau jilbab, memang banyak kudengar tentang hukumnya. Sebenarnya wajib. Aku tahu itu…” jawab  Harun.
Bang Doni tersenyum, “Lalu, kenapa kita bedakan antara jilbab yang digunakan kaum muslimah di zaman Nabi  dengan cadar yang juga mereka gunakan setelah zaman beliau?”

“Soal jilbab, kan dalam Al-Qur’an sudah disebutkan. Yang kutahu begitu…”

“Bukankah wajah dan telapak tangan itu bukan aurat bagi wanita muslimah?” tanya Harun.

“Di situ letak persoalannya, Run. Yang kudengar dari penjelasan banyak ustadz dan juga kubaca dari buku-buku tafsir terjemahan, tentang jibab itulah para ulama semenjak dahulu berbeda pendapat. Sebagian menyatakan jilbab itu pakaian yang menutup seluruh tubuh, termasuk wajah dan telapak tangan. Sebagian mengecualikan wajah dan telapak tangan sebagai bukan aurat bagi wanita muslimah. Tapi mesti demikian, mereka sepakat tentang adanya syari’at cadar. Mereka hanya berbeda pendapat, apakah cadar itu wajib atau sunnah…”

“Jadi kalau Azizah memilih mengenakan cadar, tentu tak bias disalahkan. Baik itu dalam posisi disunnahkan atau wajib, wanita muslimah tak bisa disalahkan karena ia mengenakan cadar…” kata Bang Doni menyimpulkan.

“Soal hukum seperti itu aku tak tahu, Bang. Tapi yang kulihat pada diri Azizah, lebih dari sekedar itu. Contohnya soal bersalaman dengan karib kerabat kita. Yang kutahu, ustadz-ustadz kita di mushalla dulu, biasa bersalaman dengan karib kerabat wanitanya?”

Bang Doni geleng-geleng kepala melihat sikap adik keduanyaitu. “Itu juga soal amalan, Run. Artinya, bukan mereka menganggap itu boleh, tapi mereka tak mampu menolak untuk bersalaman. Kamu bisa tanya mereka satu persatu. Bila jujur, para ustadz itu –Insya Allah- akan menjawab bahwa hakikat bersentuhan dengan pria yang bukan mahram, meski masuk dalam kategori kerabat sekalipun, hukumnya haram dalam islam…”

Di muka pintu, monah mendengar percakapan suami dan Abang iparnya itu dengan wajah merona merah. Amarah, rasa kesal dan rasa malu mungkin teraduk menjadi satu dalam hatinya. Rencana akan berangkat cepat-cepat, tak terasa 10 menit lebih Bang Harun dan Bang Doni berdebat sambil berdiri.

“Apapun alasannya, aku gak suka sikap-sikap seperti itu…” kata Harun ketus.

Harun menghela nafas dalam-dalam. Sambil mengangkat bahu, mendesah keras, ia menyalami Abangnya. “Sudahlah, kami pergi dulu Bang…”

Dari dalam bilik kamar, aku dan Azizah mendengarkan percakapan mereka. Semenjak kemarin sore, kami memang bertandang ke rumah Bang Doni, dan semalam kami menginap di rumahnya itu….
                                                                                          ******

<span>Putaran Roda Pedati</span>

Stagnasi bisnisku dan Bang Doni menjadi preseden buruk di tengah keluarga besar kami. Lagi-lagi, Azizah dianggap sebagai biang keladinya. Ia dianggap membidani sikapku dan sikap Bang Doni untuk terlalu ragu mengambil sikap dalam berbisnis.

“Bisnis itu harus berani,” ungkap Bang Harun.,”

“Kalau tak mau berspekulasi, tak usah bergerak di dunia bisnis,” tambah salah seorang pamanku.

“Bisnis bagus koq malah dikebiri,’ sindir Sari suatu saat.

“Azizah biang keladinya,” ujar Monah.

Benar, Azizah memang sering mengingatkanku akan bahaya godaan setan di dunia bisnis.

“Tempat terburuk itu adalah pasar,” begitu sabda Nabi . Itu sering disampaikan Azizah kepadaku. Bukan berarti dagang itu buruk, bahkan ia salah satu pekerjaan terbaik dalam pandangan islam. Tapi untuk mengingatkan bahwa berbisnis berarti bekerja di lingkaran setan. Ada banyak hal yang ahrus dicermati, diperhatikan dan diwaspadai setiap waktu saat kita berbisnis. Antara halal dan haram di dunia dagang, kadang berbatas seujung rambut.
                                                                                             ******

Bisnisku menurut kaca mata Harun, mungkin dianggap jalan di tempat. Tapi aku punya segudang aktivitas yang kubanggakan. Meski tak lagi kuliah, aktivitas memberi pembinaan dan pengajaran di mushallaku, tetap kupertahankan sebatas yang aku mampu. Azizah bahkan menemaniku mengajar remaja-remaja muslimah yang haus akan ilmu-ilmu agama. Di tangannya, para remaja itu bahkan meningkat cepat kemampuannya dalam banyak cabang keilmuan islam yang mereka pelajari.

Selain mengajar kaum remaja, aku punya aktivitas pengajian kaum ibu yang diasuh langsung oleh Azizah istriku. Hanya 2 pekan sekali. Tapi cukuplah buat memotivasi kaum ibu agar semakin rajin menghadiri majelis-majelis ilmu. Senang rasa hati kami karena rumahku pun berguna untuk memberi mamfaat bagi islam dan kaum muslimin.

Kegiatan lain yang kami ikuti tentu saja menghadiri majelis taklim para ustadz, dari mana kami bisa menimba ilmu lebih banyak. Azizah sendiri tak ubahnya anak kecil yang kelaparan, hadir dan berintraksi dengan banyak pengajian serta majelis taklim yang ada. Aku pun tak mau kalah, semenjak menikah, semangat mengajiku semakin menggebu-gebu.
                                                                                               ******

<span>Tangisan Azizah</span>

Azizah bukanlah wanita yang sempurna, dalam makna yang seutuhnya. Ia wanita muslimah biasa yang sedang berjuang menyempurnakan imannya.

Hidup Azizah penuh senyuman. Namun batinnya bukan benda mati yang tak mempan diterpa kesedihan, rasa muram atau kekecewaan. Senyumnya tak selalu menggambarkan kondisi hatinya yang sesungguhnya. Semua kita tentu bisa bermuram durja, sedih atau kecewa bukan kepalang. Azizah memiliki keterbatasan-keterbatasan, kelemahan dan kealpaan seperti wanita pada umumnya.

Berbagai kecaman dan anggapan miring dari karib kerabatku, tak membuat Azizah bersedih, atau memikirkannya hingga mempersulit diri. Tapi ada satu hal yang kutahu benar mampu membuatnya berduka dan menitikkan air mata.

Pernah ada tetangga yang datang ke rumah saat kami pergi, ternyata ia ingin meminjam sejumlah uang dari kami untuk biaya berobat ke rumah sakit. Karena kami tidak ada, ia beralih meminjam uang dari tetangga sebelah kami. Mendengar hal itu dituturkan oleh tetangga depan rumah kami, Azizah pun menangis. Kehilangan kesempatan  menolong orang baginya adalah musibah.

Kian hari, kian kenal lah aku dengan tabiat Azizah itu. Ternyata ia tipikal wanita yang sangat mudah menangis, bila tak sempat memberikan pertolongan kepada orang di saat ia mampun melakukannya. Semenjak kecil, jiwa penyayangnya memang demikian besar.
                                                                                          ******

Seperti sudah kubilang di atas, shalat malam adalah saat air mata Azizah sering tertumpah. Melihatnya, aku teringat riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah  juga sering menangis saat shalat di tengah malam.

Aku jadi bagian penikmat ‘candu’ itu kini. Setiap malam, mataku sulit terpejam. Khawatir kesempatan bangun malam terjegal oleh kemampuan tidurku yang kelebihan dosis itu. Tapi, saat aku pun nyenyak tidur, Azizaah dengan lembut sering menyentuh dan memijat-mijat bahuku, “Shalat, Mas…”

Mendengar itu, aku tak pernah bersengketa dengan rasa kantukku. Aku segera bangkit, membasuh kedua tangan dan berwudhu’. Bila aku terlambat bangun, biasanya Azizah membangunkanku saat ia sudah menghabiskan 4 rakaat penuh sambil berdiri panjang

( penulis ibnu musa as-sasakiy)  (Bersambung, Insya Allah)

No comments:

Post a Comment